Menjadi Bagian dari Keberagaman Istimewa Propinisi Sumatra Utara

Menjadi Bagian dari Keberagaman Istimewa Propinisi Sumatra Utara

Seperti gado-gado. Terdiri dari berbagai macam sayur, tempe, tahu, kentang rebus, yang disajikan dengan kuah kacang. Sering juga ditambahkan kerupuk, potongan telur rebus, atau lontong.
Bukan, saya tidak bermaksud menggugah selera makan para pembaca. Tapi saya akan menyebut “gado-gado” apabila ada yang bertanya kepada saya seperti apa komposisi penduduk di Propinsi Sumatra Utara.

Ya, karena warga propinsi dengan jumlah penduduk terbanyak ke-4 di Indonesia ini terdiri dari beragam latar belakang suku dan agama serta kepercayaan yang hidup berdampingan dengan rukun.
Keberagaman itulah yang membuat saya bangga sebagai Sumatra Utara. Namun apakah cuma karena alasan keberagaman saja? Tentu saja tidak. Daerah-daerah lainnya di Indonesia juga memiliki latar belakang masyarakat yang berbeda-beda.

Jadi apa yang membuat Sumatra Utara berbeda? Saya berpendapat, keberagaman di Sumatra Utara memiliki sejumlah keistimewaan. Ada empat alasan utama yang akan saya jelaskan di bawah ini.

Alasan yang pertama adalah identitas. Kebanyakan propinsi di Indonesia sering diasosiasikan dengan suku yang berasal dari daerah tersebut. Jawa Barat identik dengan Suku Sunda. Kemudian Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Daerah Istimewa Yogyakarta lekat dengan kebudayaan Jawa. Sumatra Barat kaya akan kebudayaan Minangkabau seperti musik, arsitektur, dan tentu saja makanannya yang khas. Kalimantan Selatan identik dengan Suku Banjar. Riau dan Jambi merupakan bagian dari sejarah kebudayaan Melayu. Dan banyak lagi contoh propinsi lainnya.

Namun berbeda dengan Sumatra Utara. Di Propinsi ini ada 8 etnik asli yang berasal dari Sumatra Utara yaitu: Melayu, Batak Toba, Mandailing, Karo, Pakpak, Simalungun, Angkola, dan Nias. Belum lagi warga Sumatra Utara dari Suku Jawa, Minang, Aceh, Bali, Tionghoa, dan termasuk warga keturunan India yang sudah lama bermukim di Sumatra Utara sejak kedatangan nenek moyang mereka sebagai pekerja perkebunan di Abad 19. Sehingga mustahil untuk mengasosiasikan Sumatra Utara dengan suku tertentu. Bila ada yang bertanya kepada saya “Anda orang apa?”, maka jawaban pertama saya adalah “Saya orang Sumatra Utara”.

Alasan kedua adalah ‘gentlemen’s agreement’. Menurut Wikipedia dan Investopedia, ‘gentleman’s agreement’ dapat diartikan sebagai kesepakatan atau perjanjian tak tertulis mengenai suatu hal antara sejumlah pihak. Subjek di sini adalah masyarakat Sumatra Utara. Perhatikan ada tanda kutip pada frase gentlemen’s agreement di atas, yang berarti pembahasan di bawah bukan perjanjian yang benar-benar dibuat. Mari melihat sejumlah contoh kejadian di Sumatra Utara di mana seolah-olah ada perjanjian tak tertulis masyarakat dalam menyikapi peristiwa tersebut.

Contoh pertama terkait gentlemen’s agreement adalah seringnya Master of Ceremony (MC) acara TV nasional yang berlangsung di Medan baik langsung maupun tunda, menyapa para penonton dan pemirsa dengan salam “Horas Medan!”. Di sini saya hendak menggarisbawahi sesuatu. Sapaan “Horas” adalah sapaan khas Suku Batak yang sebenarnya bukan etnis yang berasal dari Kota Medan. Wilayah Medan termasuk dalam kebudayaan Suku Melayu, dan pendiri kotanya adalah Guru Patimpus yang adalah Suku Karo. Suku Batak, sama seperti Jawa, Tionghoa, Mandailing, Nias, adalah etnis yang berasal dari daerah lain di Sumatra Utara. Ini sama seperti bila MC menyapa penonton sebuah acara di Kota Cirebon dengan kata “Wilujeng Enjing Cirebon”. Mungkin kurang tepat karena daerah Cirebon bukan mayoritas etnis Sunda meski masih berada di Jawa Barat, sehingga sebaiknya menggunakan sapaan lain.
Namun saya salut, tidak pernah ada yang mempermasalahkan atau membesar-besarkan sapaan “Horas Medan” tersebut. Salam tersebut bisa diterima dengan baik oleh masyarakat Kota Medan, karena memang hanya berfungsi sebagai sapaan saja dan ditujukan ke seluruh masyarakat tanpa niat membeda-bedakan. Inilah contoh ‘perjanjian tak tertulis’ yang membuat saya bangga sebagai orang Batak kelahiran Kota Medan.

Contoh kedua adalah penamaan Bandara Kuala Namu. Jika kita melihat nama bandara kota-kota besar Indonesia seperti Surabaya, Denpasar, Semarang, Bandung, Banjarmasin, Jambi, Palembang, mereka mengabadikan nama-nama pahlawan dari daerah tersebut sebagai nama bandara.
Namun hal tersebut tidak dilakukan untuk Bandara Kuala Namu. Ya itu karena seolah ada kesepakatan tak tertulis oleh masyarakat Sumatra Utara, biarkan nama bandaranya tetap Kuala Namu sesuai dengan nama daerah lokasi bandara. Pada saat awal pembangunan bandara, memang muncul berbagai wacana penamaan Kuala Namu dengan nama pahlawan nasional dari Sumatra Utara. Yang menjadi masalah, ada para pahlawan atau tokoh nasional Sumatra Utara berasal dari berbagai suku. Sehingga pemilihan satu nama beresiko menimbulkan pertanyaan atau bahkan kecemburuan dari pihak lain, beresiko mengundang gesekan yang tidak perlu. Akhirnya wacana-wacana tersebut berguguran secara alami, tidak ada yang pernah dibahas secara serius oleh pemerintah. Nama bandara pun tetap Kuala Namu hingga sekarang.

Alasan ketiga adalah kerukunan umat beragama di Sumatra Utara. Memiliki beragam suku, berarti juga akan memiliki keberagaman agama. Meski tiap-tiap kabupaten atau kota di Sumatra Utara memiliki penganut agama yang dominan, tapi semua lapisan masyarakat dapat hidup berdampingan dengan rukun. Meski ada beberapa kejadian atau konflik yang terjadi, tapi skalanya tidak pernah meluas dan masyarakat sepakat mengutamakan persatuan. Tentunya itu tidak terlepas dari peran pemerintah daerah dan aparat keamanan dalam memitigasi dan menangani konflik serta dampaknya dengan cepat.

Selain itu di Sumatera Utara, tempat ibadah berbagai agama dapat dengan mudah ditemui. Mari melihat tempat ibadah agama selain Islam dan Kristen yang memang terdapat di semua daerah di Sumatra Utara. Bila anda bepergian ke Binjai, Pantai Cermin, Perdagangan, Pematang Siantar, Berastagi, Tanjung Balai, Rantau Prapat, anda dapat menjumpai tempat ibadah vihara dan klenteng berdiri dengan megah bersanding dengan pemukiman penduduk seperti tanpa ada batas. Kemudian kuil untuk Agama Hindu banyak berdiri di Kota Medan dan sejumlah kota di wilayah Pantai Timur Sumatra Utara. Termasuk Pematang Siantar juga memiliki Kuil Hindu yang jarang diketahui yakni Pura Jagaditha Toba, yang banyak digunakan masyarakat etnis Bali untuk beribadah. Bahkan Kuil untuk Penganut Agama Sikh (disebut Sikh Gurdwara) yang secara populasi tergolong minoritas dapat ditemui di Medan, Tebing Tinggi, dan Binjai, berdiri dengan megah di kota-kota tersebut. Kebanggaan Sumatra Utara yang lain yaitu pada tahun 2012 mendapat kehormatan dipilih sebagai tuan rumah Kongres Konghucu se-dunia yang diikuti 20 negara.

Di samping itu juga, keberagaman agama dapat dilihat saat setiap perayaan Tahun Baru Tionghoa. Atraksi Barongsai dapat dengan mudah disaksikan di banyak kota-kota kecamatan di Sumatra Utara mulai dari Langkat, Medan, Deli Serdang, Simalungun, hingga Labuhan Batu. Saya sangat senang memperhatikan bahwa yang menonton bukan hanya etnis Tionghoa, tapi semua warga dari berbagai lapisan banyak berdiri di pinggir jalan melihat pertunjukan Barongsai. Bahkan di daerah seperti Sipirok, ada tradisi lama umat Islam dan umat Kristen sama-sama bergotong royong membantu bila ada peringatan atau perayaan hari besar agama masing-masing. Sebuah tradisi yang sangat mengharukan, dan mungkin dapat ditemui juga di daerah-daerah lain di Sumatra Utara.

Dan bukan kebetulan, sejumlah kota di Sumatera Utara masuk dalam daftar kota dengan indeks toleransi beragama terbaik berdasarkan survei yang dilakukan oleh SETARA Institute 2018, yakni Pematang Siantar (urutan ke-3), Binjai (urutan ke-9), Tebing Tinggi di 20 besar (di survei SETARA periode sebelumnya, Kota Tebing Tinggi bahkan turut masuk 10 besar). Lalu ada Kota Padang Sidempuan dan Kota Gunung Sitoli yang mendapat nilai baik (Padang Sidempuan mendapat skor 4,747 dan Gunung Sitoli mendapat skor 4,593 ), dimana nilai terendah berada di kisaran angka 3 dan tertinggi di kisaran angka 6. Tentu saja survei ini bukan patokan mutlak karena pasti memiliki kelemahan. Tapi setidaknya hasil penilaian yang terpublikasi secara nasional ini dan dikutip banyak media ini mencerminkan bahwa toleransi beragama dijunjung tinggi di Sumatra Utara.

Alasan keempat dan yang terakhir adalah kuatnya ikatan persatuan masyarakat saat ada potensi ancaman perpecahan. Contoh yang paling jelas yakni saat hangatnya perpolitikan nasional jelang perhelatan Pilkada Sumut 2018 dan Pilpres 2019. Cukup banyak gesekan-gesekan kecil yang terjadi di wilayah Sumatera Utara dikarenakan perbedaan politik tersebut, baik di lapangan maupun terutama di laman media sosial Dan kalau boleh jujur, bila dilihat dari pemetaan perolehan suara memang bisa dilihat ada kecenderungan politik identitas, yang kalau ditelusuri lebih mendalam bisa dicari faktor-faktor yang menyebabkan politik identitas tersebut.

Tapi sekali lagi saya bangga dan bersyukur, kejadian di atas tidak menyebabkan perpecahan atau konflik besar di Sumatra Utara. Gesekan-gesekan yang banyak terjadi tidak berubah ke skala yang lebih besar. Selain karena kesigapan pemerintah dan aparat dalam menjaga kondusifitas wilayah Sumatra Utara di saat perhelatan Pemilu, masyarakat juga cukup dewasa dalam menyikapi perbedaan politik dan dapat menerima hasil pemilihan dengan lapang dada. Sebagai bukti, sampai saat ini Gubernur Sumatra Utara terpilih selalu diterima dengan baik di setiap kabupaten dan kota yang dikunjungi, termasuk di daerah-daerah dimana jumlah pemilihnya saat Pilkada kemarin sangat kecil. Demikian pula kunjungan kerja Presiden Indonesia ke Sumatra Utara selalu berjalan dengan baik dan diterima oleh masyarakat.

Biarlah perpecahan karena perbedaan politik itu cukup terjadi di balik bilik suara saja. Di luar bilik suara, masyarakat Sumatra Utara kembali seperti semula, kehidupan sehari-hari berjalan dengan
biasa. Pemerintah daerah pun terus fokus bekerja untuk meningkatkan kesejahteraan warga Sumatra Utara.

Dengan alasan dan uraian di atas, bagaimana mungkin saya tidak bersyukur dan bangga menjadi bagian dari Propinsi Sumatra Utara? Sampai kapanpun saya akan selalu bangga dan menceritakan ke teman-teman dari luar propinsi maupun publik mengenai keberagaman yang istimewa di Sumatra Utara.

Semoga hingga akhir nanti, masyarakat Sumatra Utara dari generasi ke generasi dapat selalu menjaga persatuan dalam kebhinekaan dan saling mendukung bagi meningkatnya perekonomian dan kesejahteraan warga Propinsi Sumatra Utara.

Sumber Bacaan:

Agama Sikh Telah ada di Ttinggi Sejak 1916. Diakses pada 27 Desember 2019, dari
http://abdulkhalik-news.blogspot.com/2015/01/agama-sikh-telah-ada-di-ttinggi-sejak.html

Biro Humas dan Keprotokolan Setda Propinsi Sumatera Utara. 10 Desember 2019. Gubernur Buka Festival Danau Toba, 1.024 Orang Pakai Bulang Sulappei Pecahkan Rekor MURI. Diakses pada 27 Desember 2019, dari
http://humas.sumutprov.go.id/gubernur-buka-festival-danau-toba-1-024-orang-pakai-bulang-sulappei-pecahkan-rekor-muri/gubernur-buka-festival-danau-toba-1-024-orang-pakai-bulang-sulappei-pecahkan-rekor-muri-7/

Pura Jagaditha Toba: Kuil Hindu Satu-satunya di Siantar. Gatra. Diakses pada 27 Desember 2019, dari
https://www.gatra.com/detail/news/397351-Pura-Jagaditha-Toba-Kuil-Hindu-Satu-satunya-di-Siantar

Gentlemen’s Agreement Definition. Diakses pada 24 Desember 2019, dari
https://www.investopedia.com/terms/g/gentlemansagreement.asp

Gentlemen’s Agreement. Diakses pada 24 Desember 2019, dari
https://en.wikipedia.org/wiki/Gentlemen%27s_agreement

Kabar Sumut. 24 Januari 2019. Kunjungan Kerja Gubernur Sumut Kapolda Sumut dan Pangdam I Bukit Barisan ke Kabupaten Karo. Diakses pada 27 Desember 2019, dari
https://www.kabarsumut.com/gubernur-sumut-lakukan-kunjungan-kerja-di-karo/

Leandha, Mei. Di Sumut, Jokowi-Ma’ruf Menang 348.729 Suara dari Prabowo-Sandi. Kompas. Diakses pada 27 Desember 2019, dari
https://regional.kompas.com/read/2019/05/21/11100531/di-sumut-jokowi-maruf-menang-348729-suara-dari-prabowo-sandi?page=all

Presidenri.go.id. 16 Maret 2019. Apresiasi Keragaman di Sumut: Sumut adalah Miniaturnya Indonesia. Diakses pada 25 Desember 2019, dari
http://presidenri.go.id/berita-aktual/apresiasi-keragaman-di-sumut-sumut-adalah-miniaturnya-indonesia.html

SETARA Institute for Democracy and Peace. 2018. Press Release: Indeks Kota Toleran (IKT) Tahun 2018. Diakses pada 24 Desember 2019, dari http://setara-institute.org/en/indeks-kota-toleran-ikt-tahun-2018/

Tamtomo, Akhar Bhayu. 11 Juli 2018. INFOGRAFIK: Peta Kemenangan Pilkada Sumatera Utara 2018. Kompas. Diakses pada 27 Desember 2019, dari
https://nasional.kompas.com/read/2018/07/11/16345571/infografik-peta-kemenangan-pilkada-sumatera-utara-2018

Vannisa. 13 Juni 2019. Kebudayaan Sumatera Utara Lengkap Beserta Gambar dan Penjelasannya. Artikel diakses pada 26 Desember 2019, dari

Kebudayaan Sumatera Utara Lengkap Beserta Gambar dan Penjelasannya

Warastri, Aufrida Wismi. 19 Juni 2012. Kongres Konghucu Sedunia di Medan. Kompas. Diakses pada 27 Desember 2019, dari
https://internasional.kompas.com/read/2012/06/19/08401136/Kongres.Konghucu.Sedunia.di.Medan.

Zulfikli B. Lubis. 2005. Kajian Awal Tentang Komunitas Tamil dan Punjabi di Medan: Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISI Vol. 1 No.3: Universitas Sumatra Utara, Medan, Indonesia. Diakses pada 26 Desember 2019, dari
http://repository.usu.ac.id